Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan: Perbedaan revisi

Dari V-TAX Wiki
Lompat ke: navigasi, cari
(Ketentuan Bagi Pejabat)
Baris 126: Baris 126:
 
# Kepala kantor bidang pertanahan.
 
# Kepala kantor bidang pertanahan.
 
Untuk para pejabat tersebut berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
 
Untuk para pejabat tersebut berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
# PPAT / Notaris
+
# PPAT / Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. PPAT / Notaris yang melanggar ketentuan in dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
 +
# Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. Bagi pejabat yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
 +
# Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. Setiap pelanggaran ketentuan ini dikenakan sanksi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
 +
#

Revisi per 18 Juni 2018 11.40

Sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, di samping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagaian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang terkait BPHTB adalah :

  1. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self assessment, yaitu Wajib Pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
  2. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
  3. Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, baik kepada wajib pajak maupun kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
  5. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan di luar ketentuan ini tidak diperkenankan.

Sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tanggal 15 September 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, wewenang untuk memungut BPHTB diserahkan ke pemerintah kabupaten / kota. Penyerahan pengelolaan BPHTB kepada pemerintah kabupaten / kota mulai 1 Januari 2011.

Dalam pembahasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, akan dijumpai beberapa pengertian yang sudah baku. Pengertian-pengertian tersebut, antara lain :

  1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB selanjutnya disebut pajak.
  2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
  3. Hak atas tanah dan atau bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.

Dasar Hukum

Dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah :

  1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Undang-Undang ini menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291.
  2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Objek Pajak

Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi :

  1. Pemindahan hak karena :
    1. Jual-beli.
    2. Tukar-menukar.
    3. Hibah.
    4. Hibah wasiat.
    5. Waris.
    6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya.
    7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
    8. Penunjukan pembeli dalam lelang.
    9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
    10. Penggabungan usaha.
    11. Peleburan usaha.
    12. Pemekaran usaha.
    13. Hadiah
  2. Pemberian hak baru karena :
    1. Kelanjutan pelepasan hak.
    2. Di luar pelepasan hak.

Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh :

  1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
  2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum.
  3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut.
  4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.
  5. Orang pribadi atau badan karena wakaf.
  6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan atau Bangunan. Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan atau Bangunan.

Dasar Pengenaan Pajak

Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP ditentukan sebesar :

  1. Harga transaksi, dalam hal jual-beli.
  2. Nilai pasar objek pajak dalam hal :
    1. Tukar-menukar.
    2. Hibah.
    3. Hibah wasiat.
    4. Waris.
    5. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya.
    6. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak.
    7. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
    8. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak.
    9. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak.
    10. Penggabungan usaha.
    11. Peleburan usaha.
    12. Pemekaran usaha.
    13. Hadiah.
  3. Harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang, dalam hal penunjukan pembeli dalam lelang.
  4. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), apabila besarnya NPOP sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 tidak diketahui atau NPOP lebih rendah dari NJOP PBB.

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)

Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional paling rendah Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami / istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling rendah Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juga rupiah). Besarnya NPOPTKP ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Tarif Pajak

Besarnya tarif pajak ditetapkan sebesar paling tinggi 5% (lima persen). Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Cara Menghitung BPHTB

BPHTB = (NPOP - NPOPTKP) x tarif pajak

Contoh :

Tuan Budi membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp. 70.000.000,-. Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang berlaku di kabupaten / kota tersebut Rp. 60.000.000,- dan tarif pajaknya 5%.

Nilai Perolehan Objek Pajak Rp. 70.000.000,-
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp. 60.000.000,-
Rp. 10.000.000,-
BPHTB yang terutang (Rp. 10.000.000,- x 5%) Rp. 500.000,-

Saat Terutangnya Pajak

Saat yang menentukan terutangnya pajak adalah :

  1. Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, untuk :
    1. Jual-beli.
    2. Tukar-menukar.
    3. Hibah.
    4. Hibah wasiat.
    5. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya.
    6. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
    7. Penggabungan usaha.
    8. Peleburan usaha.
    9. Pemekaran usaha.
    10. Hadiah.
  2. Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk lelang.
  3. Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, untuk putusan hakim.
  4. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan, untuk waris.
  5. Sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, untuk :
    1. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak.
    2. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak.

BPHTB yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak.

Tempat Pajak Terutang

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat tanah dan atau bangunan berada.

Ketentuan Bagi Pejabat

Yang termasuk dalam pengertian pejabat adalah :

  1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) / Notaris.
  2. Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara.
  3. Kepala kantor bidang pertanahan.

Untuk para pejabat tersebut berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

  1. PPAT / Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. PPAT / Notaris yang melanggar ketentuan in dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
  2. Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. Bagi pejabat yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
  3. Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. Setiap pelanggaran ketentuan ini dikenakan sanksi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.